Jumat, 09 September 2016

[ Ekonomi Politik ] - KRISIS EKONOMI DI ERA PEMERINTAHAN PRESIDEN SOEHARTO

 
 

Di awal Orde Baru, Soeharto berusaha keras membenahi ekonomi Indonesia yang terpuruk. Kondisi ekonomi ketika awal masa pemerintahan Soeharto, Indonesia mengalami inflasi yang sangat tinggi, yaitu sekitar 650% setahun.
Selama periode sembilan bulan pertama 1998, merupakan periode paling buruk dalam perekonomian. Krisis yang sudah berjalan enam bulan selama tahun 1997, berkembang semakin buruk dalam waktu yang cepat. Dampak krisis pun mulai dirasakan secara nyata oleh masyarakat.
Bagi Indonesia, krisis ekonomi atau krisis moneter bukanlah hal baru karena Indonesia terhitung telah mengalami 2 kali krisis yang melanda perekonomiannya. Yang pertama adalah krisis moneter tahun 1998 yang melanda negara-negara Asia Tenggara membuat ekonomi Indonesia benar-benar terpuruk hingga membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia saat itu menjadi minus (-), kurs rupiah melemah terhadap mata uang asing, adanya rush terhadap perbankan tanah air. Terjadinya hal tersebut dapat memberikan dampak negatif ke sektor lainnya seperti berkurangnya investasi, dan banyak industri-industri yang bangkrut sehingga menimbulkan angka pengangguran yang sangat tinggi, ditambah lagi dengan angka inflasi yang mencapai Hiperinflasi. Kejadian tersebut membuat ekonomi Indonesia hancur. Pada awalnya Indonesia merupakan Negara yang perekonomiannya dikenal paling tangguh di Asia Tenggara, namun akibat terjadinya krisis moneter 1998 ini, Indonesia menjadi tidak berkutik. Industri Indonesia yang sudah mulai memasuki tahap lepas landas harus kembali mengulang semuanya dari awal.
Krisis moneter ini mulai terasa di awal bulan Juli dan Agustus, diawali dengan nilai rupiah yang turun. Nilai tukar rupiah kemudian merosot dengan cepat dan tajam dari rata-rata Rp 2.450 per dollar AS Juni 1997 menjadi Rp 13.513 akhir Januari 1998. Penurunan nilai tukar rupiah juga didorong dengan semakin banyaknya masyarakat yang membeli dolar, sehingga permintaan akan dolar pun tinggi yang berakibat semakin melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar.
Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, menyebabkan harga-harga naik drastis. Banyak perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran. Jumlah pengangguran meningkat dan bahan-bahan sembako semakin langka .Krisis ini tetap terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan tangguh serta disanjung-sanjung oleh Bank Dunia. Maksud dari  fundamental ekonomi yang kuat di sini adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, cadangan devisa masih cukup besar dan anggaran-anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus.
Krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak awal Juli 1997,  di akhir tahun itu telah berubah menjadi krisis ekonomi, yakni lumpuhnya kegiatan ekonomi yang disebabkan banyak  perusahaan swasta yang gulung tikar. Krisis ini mengakibatkan munculnya utang Indonesia, baik itu utang luar negeri pemerintah maupun swasta. Utang tersebut membumbung tinggi karena melemahnya rupiah. Akibat dari krisis tersebut, sejak tahun 1998, pemerintah memiliki utang dalam negeri berbentuk obligasi. Utang itu dipergunakan untuk membiayasi rekapitulasi dam restrukturisasi perbankan yang hampir bangkrut.
Krisis moneter yang terjadi juga berdampak pada segala segi kehidupan politik dan masyarakat. Krisis ini pula yang membawa Presiden Soeharto meninggalkan tahta kepemimpinannya. Kebijakan-kebijakan ekonomi mulai diambil ketika krisis ini mulai muncul. Berbagai langkah kebijakan diambil, yang berfokus untuk mengembalikan kestabilan mikro ekonomi dan membangun kembali infrastruktur ekonomi, khususnya di bidang perbankan dan dunia usaha. Kebijakan yang terfokus pada dua hal tersebut tepat untuk diambil, seperti yang diketahui, krisis moneter yang terjadi sudah sangat menyerang perekonomian secara keseluruhan sekaligus menyerang sektor-sektor badan usaha. Krisis ini menjadi titik balik perekonomian Indonesia ke arah yang lebih baik. Krisis moneter ini memicu banyak pakar ekonom berpikir keras untuk menemukan kebijakan yang terbaik dalam mengatasi dan mencegah hal ini terjadi dikemudian hari.
Menurut Emil Salim, Soeharto menerapkan cara militer dalam menangani masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia, yaitu dengan mencanangkan sasaran yang tegas. Pemerintah lalu melakukan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang (25-30 tahun), pembangunan itu dilakukan secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita (Pembangunan Lima Tahun). Pemerintah berhasil memperoleh pinjaman dari negara-negara Barat dan lembaga keuangan seperti IMF (International Monetary Fund) dan Bank Dunia. Dalam hal ini, perekonomian Indonesia seakan-akan bertumpu pada kekuatan modal dari pihak asing.  Hal inilah yang sejak awal dipertanyakan oleh Kwik Kian Gie, yang menilai kebijakan ekonomi Soeharto membuat Indonesia terikat pada kekuatan modal asing.
Jika diamati lebih lanjut, IMF tidak benar-benar sepenuh hati ingin membantu Indonesia dalam memperbaiki perekonomiannya. Terbukti dalam prakteknya, IMF menunda pengucuran dananya (31 Oktober 1997 dan 15 Maret 1998). Selain itu, bantuan IMF juga disertai syarat-syarat yang berisi program dalam Letter of Intent (LoI) mencakup kebijakan makro-ekonomi (kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan nilai tukar), restrukturisasi sektor keuangan (program restrukturisasi bank, memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan), reformasi struktural (perdagangan luar negeri dan investasi, deregulasi dan swastanisasi, social safety net, dan Lingkungan hidup). Kebijakan moneter IMF yang diberikan dapat menyebabkan tidak bergeraknya sektor riil, karena tingkat suku bunga yang tinggi, belum tentu dapat menguragi capital outlow. Kebijakan IMF untuk menekan inflasi perlu dipertanyakan keberhasilannya di Indonesia, karena inflasi tidak hanya dipengaruhi oleh kebijakan moneter tetapi karena adanya praktek monopoli dan oligopoli, permasalahan distribusi dan biaya transaksi karena pembelian input dari luar negeri (import inflation). Sedangkan aliran capital outflow juga dipengaruhi oleh stabilitas sosial, keamanan dan politik.
IMF terlihat adanya kesan “memaksa”  kepada pemerintah Indonesia untuk memangkas pengeluaran pemerintah untuk sektor sosial (subsidi) dan melakukan deregulasi ekonomi. Di samping itu, pemerintah didesak pula untuk melegitimasi upah rendah. Seluruh tekanan itu justru meluaskan kemiskinan. Seorang birokrat senior IMF mengaku bahwa seluruh kebijakan tersebut dilakukan untuk melayani kepentingan investor asing, yang tidak lain adalah perusahaan-perusahaan besar di negara pemegang saham utama lembaga ini.
Pelayanan ini diberikan dengan cara membukakan peluang bagi investor asing untuk memasuki semua sektor dan pengurangan subsidi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, pangan dan perumahan. Termasuk menghilangkan subsidi pada listrik, tarif telepon dan bahan bakar minyak. Padahal menurut Bank Dunia, setengah dari seluruh rakyat Indonesia berpeluang 50:50 untuk jatuh miskin tahun itu. Sepertiga dari seluruh rakyat Indonesia tidak mempunyai akses untuk memperoleh air bersih atau layanan kesehatan atau tidak menamatkan sekolah dasar. Namun lembaga pemberi utang ini tetap saja memperburuk situasi ini dengan mengharuskaan pemerintah memotong belanja publik dan mengurangi tingkat pertumbuhan lapangan kerja dengan alasan untuk menjadikan perekonomian lebih efisien.

Menurut pendapat saya, penyebab utama dari terjadinya krisis yang berkepanjangan ini adalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang sangat tajam. Anwar Nasution melihat besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar negeri, ditambah dengan lemahnya sistem perbankan nasional sebagai akar dari terjadinya krisis finansial (Nasution: 28). Defisitnya neraca berjalan berarti Indonesia banyak melakukan impor barang sedangkan ekspor Indonesia sangat lemah. Hal tersebut disebabkan oleh produk-produk Indonesia yang mulai kalah bersaing dengan produk-produk luar negeri, selain itu perusahaan dalam negeri yang mengalami masalah utang luar negeri yang mulai jatuh tempo berdampak pula pada biaya produksi yang tinggi. Tidak hanya itu, tetapi ada banyak faktor lain penyebab terjadinya krisis moneter, antara lain :
1.    Stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek dan menengah yang telah menciptakan “ketidakstabilan”, nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia
cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya (ditambah lagi dengan sistem perbankan nasional yang lemah).
Hal tersebut semakin diperburuk oleh adanya rasa percaya diri yang berlebihan dan cenderung mengabaikan dalam diri para menteri di bidang ekonomi maupun masyarakat perbankan dalam menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut.
Akumulasi utang swasta luar negeri yang sejak awal tahun 1990-an telah mencapai jumlah yang sangat besar, yang diperkirakan sudah jauh melampaui utang resmi pemerintah yang beberapa tahun terakhir malah sedikit berkurang, kejadian ini disebut Oustanding Official Debt.
Sebenarnya ada tiga pihak yang bersalah dalam hal ini, yaitu pemerintah, kreditur dan debitur. Kesalahan pemerintah adalah, karena telah memberi signal yang salah kepada pelaku ekonomi dengan membuat nilai rupiah terus-menerus overvalued dan suku bunga rupiah yang tinggi, sehingga pinjaman dalam rupiah menjadi relatif mahal dan pinjaman dalam mata uang asing menjadi relatif murah. Sebaliknya, tingkat bunga di dalam negeri dibiarkan tinggi untuk menahan pelarian dana ke luar negeri dan agar masyarakat mau mendepositokan dananya dalam rupiah. Dalam hal ini pemerintah dihadapkan dengan masalah bagaikan buah simalakama. Keadaan ini menguntungkan pengusaha selama tidak terjadi devaluasi dan ini terjadi selama bertahun tahun sehingga memberi rasa aman dan orang terus meminjam dari luar negeri dalam jumlah yang semakin besar. Dengan demikian pengusaha hanya bereaksi atas signal yang diberikan oleh pemerintah. Selain itu pemerintah sama sekali tidak melakukan pengawasan terhadap utang-utang swasta luar negeri ini, kecuali yang berkaitan dengan proyek pemerintah dengan dibentuknya tim PKLN.
Pemerintah sepertinya tidak memiliki mekanisme pengawasan terhadap hutang yang dibuat oleh sektor swasta Indonesia. Setelah krisis berlangsung, barulah disadari bahwa hutang swasta tersebut benar -benar menjadi masalah yang serius.
Antara tahun 1992 sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari penambahan utang luar negeri Indonesia berasal dari pinjaman swasta (World Bank, 1998). Hal tersebut menjadi kesempatan emas untuk para kreditur asing, mereka tentu sangat senang dan bersemangat meminjamkan modalnya kepada perusahaan-perusahaan (swasta) di negara yang pada saat itu memiliki inflasi rendah, memiliki surplus anggaran, mempunyai tenaga kerja terdidik dalam jumlah besar, memiliki sarana dan prasarana yang memadai, dan menjalankan sistem perdagangan terbuka.

2.    Banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Akibat kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri.

3.    Banyaknya utang dalam valas, proyek jangka panjang yang dibiayai dengan utang jangka pendek, proyek berpenghasilan rupiah dibiayai valas, pengambilan kredit perbankan yang jauh melebihi nilai proyeknya, deficit APBN yang tidak efisien dan efektif, devisa hasil ekspor yang disimpan di luar negeri, perbankan yang kurang sehat, serta jumlah orang miskin dan pengangguran yang relatif masih besar.

4.    Diabaikannya Early System Warning merupakan penyebab mengapa krisis moneter melanda Inonesia. Adapun Early System Warning-nya adalah: meningkatnya secara tajam defisit transaksi berjalan sehingga pada saat terjadinya krisis, defisit transaksi berjalan Inonesia sebesar 32.5% dari PDB.
Boomingnya sektor properti dan finansial yang mengabaikan kebijakan kehati-hatian dalam pemberian kredit perbankan diperuntukkan untuk membiayai proyek-proyek besar yang disponsori pemerintah dan pada kenyataannya, tidak semua proyek besar itu visibel.

Pada awal Mei 1998 besarnya utang luar negeri swasta dari 1.800 perusahaan diperkirakan berkisar antara US$ 63 hingga US$ 64 milyar, sementara utang pemerintah US$ 53,5 milyar. Ditambah lagi dengan kemerosotan nilai tukar rupiah yang tajam yang membuat utang dalam nilai rupiah membengkak dan menyulitkan pembayaran kembalinya. Utang swasta tersebut banyak yang tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi, tetapi lebih mengandalkan koneksi politik, dan seakan didukung oleh persepsi bahwa negara akan ikut menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagalan.
Krisis moneter telah memberikan pelajaran yang sangat berharga untuk menentukan kebijakan di masa depan, maka upaya yang paling utama dan mendesak bagi Indonesia dewasa ini adalah program penyelamatan yang bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat serta menstabilkan kurs rupiah pada nilai tukar yang nyata. Para ekonom dari CSIS berpendapat bahwa langkah yang harus diambil untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam tingkat yang wajar, restrukturisasi perbankan, dan penyelesaian masalah utang swasta dengan penjadwalan ulang. Menerapkan kebijakan nilai tukar nyata sebagai nilai tukar berdasarkan purchasing power parity yang bisa menjaga keseimbangan dalam neraca berjalan dan yang bisa menjamin ekonomi nasional beroperasi. Dengan sistem tersebut, harga barang-barang produksi dalam negeri dengan kandungan lokal tinggi bisa meningkat daya saingnya sehingga bisa berkembang dan masyarakat tidak mengandalkan bahan impor karena menjadi mahal, industrialisasi substitusi impor berlanjut, harga mobil terjangkau oleh masyarakat, impor secara otomatis akan berkurang dan meningkatkan ekspor. Kegiatan jasa hotel, perjalanan, perdagangan dan angkutan juga dapat hidup kembali.
Setelah mendapat pengalaman dari krisis ini, dana asing akan sangat hati-hati masuk ke Indonesia, begitu pula pengusaha domestik akan sangat hati-hati untuk meminjam dari luar negeri, sehingga sumber utama krisis di masa lalu untuk masa mendatang sudah dapat dieliminir, selama persyaratan di atas bisa dipenuhi. Dengan demikian, kegiatan ekonomi Indonesia terutama harus ditunjang oleh kekuatan sendiri berdasarkan dana modal yang tersedia di dalam negeri. Dunia perbankan nasional juga telah diajarkan dari manfaat jangka panjang untuk bertindak prudent. Pemerintah sebaiknya memberi perhatian lebih terhadap produk-produk dalam negeri karya anak bangsa, agar dapat bersaing di jajaran Internasional, langkah awal yang dapat dilakukan yaitu pemerintah memberi contoh dengan menggunakan produk-produk dalam negeri, dengan dilakukannya hal tersebut, bukanlah tidak mungkin nantinya banyak masyarakat dalam negeri maupun luar negeri percaya akan produk-produk Indonesia, hal itu otomatis akan menambah pendapatan negara.
Selain itu, Departemen Keuangan dan Bank Indonesia, harus bertindak pro-aktif menghadapi IMF dengan mengajukan saran-sarannya sendiri dan menolak program-program yang tidak relevan. Pemerintah juga sebaiknya mempertimbangkan lebih lanjut saran-saran dan bantuan yang diberikan oleh IMF, apakah benar-benar dapat memperbaiki perekonomian Indonesia atau malah merugikan. Seperti yang sudah saya bahas sebelumnya, IMF sebenarnya tidak benar-benar sepenuh hati membantu Indonesia, sebaliknya malah membuat perekonomian Indonesia semakin terpuruk. Hal itu dapat dijadikan pelajaran untuk ke depannya agar pemerintah lebih berhati-hati lagi dalam mengambil kebijakan dan tidak mudah dimanfaatkan oleh pihak luar.
Mengusahakan penundaan pembayaran utang resmi pemerintah juga perlu dilakukan. Keuntungan dari penundaan pembayaran utang ini yaitu beban utang tidak menjadi bertambah, hanya jangka waktu pembayaran kembalinya saja yang lebih panjang, tanpa merusak nama Indonesia sebagai debitur yang baik.
Mengembalikan stabilitas sosial dan politik dan rasa aman secepatnya juga perlu dilakukan sehingga bisa memulihkan kepercayaan pemilik modal dalam dan luar negeri.
Pengalaman-pengalaman krisis ekonomi perlu dijadikan pelajaran bagi pemerintah Indonesia yang selanjutnya, bagaimana sebaiknya dalam membangun dan menciptakan perekonomian negara Indonesia yang baik dan tidak hanya bertumpu pada utang luar negeri dalam mewujudkan hal tersebut.
Menurut saya, bukan hanya pemerintah saja yang mempunyai peran dalam masalah krisis ekonomi ini, tetapi masyarakat Indonesia sendiri juga harus berperan aktif dalam masalah tersebut. Hal-hal yang dapat dilakukan antara lain :
1. Membuat agenda pembangunan nasional yang rasional dan partisipatif agar dapat menjawab pertanyaan tentang “perlukah kita berhutang?”. Selama ini utang dibuat oleh pemerintah dan perusahaan swasta, tetapi resikonya ditanggung oleh seluruh masyarakat.
2.  Perlu menggali dan selalu mengikuti perkembangan utang luar negeri Indonesia. Melalui membaca, mencari informasi yang mendukung atau ikut menyebarkan info mengenai dampak dari utang luar negeri.
3.  Meningkatkan pertumbuhan kapasitas dalam negeri agar tidak perlu lagi berhutang. Oleh karena itu, kita harus menuntut agar pemerintah menerapkan pola pembangunan yang berbeda dari yang saat ini dilakukan. Kita memerlukan demokrasi partisipatif, pemerintah dan DPR yang bersih serta semangat nasionalisme, juga solidaritas yang kuat antar sesama.



Almareza. 2010. Krisis Ekonomi 1997-1998 Indonesia, (Online),

(http://almareza-almareza.blogspot.com/2010/10/krisis-ekonomi-1997-1998-indonesia.html), diakses 04 Mei 2016.

 

Agassichoi. 2012. Analisis Ekonomi Indonesia pada Era Orde Baru, (Online),

(https://shiningwiris.wordpress.com/2012/04/29/analisis-ekoonomi-indonesia-pada-era-orde-baru/), diakses 04 Mei 2016.

 

Tobing, Hitler. 2015. Analisis kasus Krisis Moneter 1998 di Indonesia, (Online),

(http://hitlerpatiar.blogspot.com/2015/04/analisis-kasus-krisis-moneter-1998-di.html), diakses 04 Mei 2016.

 

Wahyu Nurbaya, Hadi. 2015. Kilas Balik Krisis Ekonomi Tahun 1997-1998 di Indonesia, (Online), (https://hadiwahyun.wordpress.com/2015/05/01/kilas-balik-krisis-ekonomi-tahun-1997-1998-di-indonesia/), diakses 04 Mei 2016.



 
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar