Di
awal Orde Baru, Soeharto berusaha keras membenahi ekonomi Indonesia yang
terpuruk. Kondisi ekonomi ketika awal masa pemerintahan Soeharto, Indonesia
mengalami inflasi yang sangat tinggi, yaitu sekitar 650% setahun.
Selama periode sembilan bulan
pertama 1998, merupakan periode paling buruk dalam perekonomian. Krisis yang
sudah berjalan enam bulan selama tahun 1997, berkembang semakin buruk dalam
waktu yang cepat. Dampak krisis pun mulai dirasakan secara nyata oleh
masyarakat.
Bagi Indonesia, krisis ekonomi atau krisis moneter
bukanlah hal baru karena Indonesia terhitung telah mengalami 2 kali krisis yang
melanda perekonomiannya. Yang pertama adalah krisis moneter tahun 1998 yang
melanda negara-negara Asia Tenggara membuat ekonomi Indonesia benar-benar terpuruk
hingga membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia saat itu menjadi minus (-), kurs
rupiah melemah terhadap mata uang asing, adanya rush terhadap perbankan tanah air. Terjadinya hal tersebut dapat
memberikan dampak negatif ke sektor lainnya seperti berkurangnya investasi, dan
banyak industri-industri yang bangkrut sehingga menimbulkan angka pengangguran
yang sangat tinggi, ditambah lagi dengan angka inflasi yang mencapai
Hiperinflasi. Kejadian tersebut membuat ekonomi Indonesia hancur. Pada awalnya
Indonesia merupakan Negara yang perekonomiannya dikenal paling tangguh di Asia
Tenggara, namun akibat terjadinya krisis moneter 1998 ini, Indonesia menjadi
tidak berkutik. Industri Indonesia yang sudah mulai memasuki tahap lepas landas
harus kembali mengulang semuanya dari awal.
Krisis moneter ini mulai terasa di awal bulan Juli dan
Agustus, diawali dengan nilai rupiah yang turun. Nilai tukar rupiah kemudian
merosot dengan cepat dan tajam dari rata-rata Rp 2.450 per dollar AS Juni 1997
menjadi Rp 13.513 akhir Januari 1998. Penurunan nilai tukar rupiah juga
didorong dengan semakin banyaknya masyarakat yang membeli dolar, sehingga
permintaan akan dolar pun tinggi yang berakibat semakin melemahnya nilai tukar
rupiah terhadap dolar.
Melemahnya
nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, menyebabkan harga-harga naik drastis.
Banyak perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik yang melakukan pemutusan
hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran. Jumlah pengangguran meningkat dan
bahan-bahan sembako semakin langka .Krisis ini tetap terjadi, meskipun
fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan tangguh
serta disanjung-sanjung oleh Bank Dunia. Maksud dari fundamental ekonomi yang kuat di sini adalah
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, cadangan devisa
masih cukup besar dan anggaran-anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit
surplus.
Krisis
moneter yang terjadi di Indonesia sejak awal Juli 1997, di akhir tahun itu telah berubah menjadi
krisis ekonomi, yakni lumpuhnya kegiatan
ekonomi yang disebabkan banyak perusahaan swasta yang gulung tikar.
Krisis ini mengakibatkan munculnya utang Indonesia, baik itu
utang luar negeri pemerintah maupun swasta. Utang tersebut membumbung tinggi
karena melemahnya rupiah. Akibat dari krisis tersebut, sejak tahun 1998,
pemerintah memiliki utang dalam negeri berbentuk obligasi. Utang itu
dipergunakan untuk membiayasi rekapitulasi dam restrukturisasi perbankan yang
hampir bangkrut.
Krisis moneter yang terjadi juga berdampak pada segala
segi kehidupan politik dan masyarakat. Krisis ini pula yang membawa Presiden
Soeharto meninggalkan tahta kepemimpinannya. Kebijakan-kebijakan ekonomi mulai
diambil ketika krisis ini mulai muncul. Berbagai langkah kebijakan diambil,
yang berfokus untuk mengembalikan kestabilan mikro ekonomi dan membangun
kembali infrastruktur ekonomi, khususnya di bidang perbankan dan dunia usaha.
Kebijakan yang terfokus pada dua hal tersebut tepat untuk diambil, seperti yang
diketahui, krisis moneter yang terjadi sudah sangat menyerang perekonomian
secara keseluruhan sekaligus menyerang sektor-sektor badan usaha. Krisis ini
menjadi titik balik perekonomian Indonesia ke arah yang lebih baik. Krisis
moneter ini memicu banyak pakar ekonom berpikir keras untuk menemukan kebijakan
yang terbaik dalam mengatasi dan mencegah hal ini terjadi dikemudian hari.
Menurut Emil Salim, Soeharto menerapkan cara militer
dalam menangani masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia, yaitu dengan
mencanangkan sasaran yang tegas. Pemerintah lalu melakukan Pola Umum
Pembangunan Jangka Panjang (25-30 tahun), pembangunan itu dilakukan secara
periodik lima tahunan yang disebut Pelita (Pembangunan Lima Tahun). Pemerintah berhasil
memperoleh pinjaman dari negara-negara Barat dan lembaga keuangan seperti IMF
(International Monetary Fund) dan Bank Dunia. Dalam hal ini, perekonomian
Indonesia seakan-akan bertumpu pada kekuatan modal dari pihak asing. Hal inilah yang sejak awal dipertanyakan oleh
Kwik Kian Gie, yang menilai kebijakan ekonomi Soeharto membuat Indonesia terikat
pada kekuatan modal asing.
Jika diamati lebih lanjut, IMF tidak benar-benar
sepenuh hati ingin membantu Indonesia dalam memperbaiki perekonomiannya.
Terbukti dalam prakteknya, IMF menunda pengucuran dananya (31 Oktober 1997 dan
15 Maret 1998). Selain itu, bantuan IMF juga disertai syarat-syarat yang berisi
program dalam Letter of Intent (LoI) mencakup kebijakan makro-ekonomi
(kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan nilai tukar), restrukturisasi sektor
keuangan (program restrukturisasi bank, memperkuat aspek hukum dan pengawasan
untuk perbankan), reformasi struktural (perdagangan luar negeri dan investasi,
deregulasi dan swastanisasi, social
safety net, dan Lingkungan hidup). Kebijakan moneter IMF yang diberikan
dapat menyebabkan tidak bergeraknya sektor riil, karena tingkat suku bunga yang
tinggi, belum tentu dapat menguragi capital
outlow. Kebijakan IMF untuk menekan inflasi perlu dipertanyakan
keberhasilannya di Indonesia, karena inflasi tidak hanya dipengaruhi oleh
kebijakan moneter tetapi karena adanya praktek monopoli dan oligopoli, permasalahan
distribusi dan biaya transaksi karena pembelian input dari luar negeri (import inflation). Sedangkan aliran capital outflow juga dipengaruhi oleh
stabilitas sosial, keamanan dan politik.
IMF
terlihat adanya kesan “memaksa” kepada
pemerintah Indonesia untuk memangkas pengeluaran pemerintah untuk sektor sosial
(subsidi) dan melakukan deregulasi ekonomi. Di samping itu, pemerintah didesak
pula untuk melegitimasi upah rendah. Seluruh tekanan itu justru meluaskan
kemiskinan. Seorang birokrat senior IMF mengaku bahwa seluruh kebijakan
tersebut dilakukan untuk melayani kepentingan investor asing, yang tidak lain
adalah perusahaan-perusahaan besar di negara pemegang saham utama lembaga ini.
Pelayanan
ini diberikan dengan cara membukakan peluang bagi investor asing untuk memasuki
semua sektor dan pengurangan subsidi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti
pendidikan, kesehatan, pangan dan perumahan. Termasuk menghilangkan subsidi
pada listrik, tarif telepon dan bahan bakar minyak. Padahal menurut Bank Dunia,
setengah dari seluruh rakyat Indonesia berpeluang 50:50 untuk jatuh miskin
tahun itu. Sepertiga dari seluruh rakyat Indonesia tidak mempunyai akses untuk
memperoleh air bersih atau layanan kesehatan atau tidak menamatkan sekolah
dasar. Namun lembaga pemberi utang ini tetap saja memperburuk situasi ini
dengan mengharuskaan pemerintah memotong belanja publik dan mengurangi tingkat
pertumbuhan lapangan kerja dengan alasan untuk menjadikan perekonomian lebih
efisien.
Menurut pendapat saya, penyebab utama dari terjadinya
krisis yang berkepanjangan ini adalah merosotnya nilai tukar
rupiah terhadap dollar AS yang sangat tajam. Anwar
Nasution melihat besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar negeri, ditambah
dengan lemahnya sistem perbankan nasional sebagai akar dari terjadinya krisis finansial
(Nasution: 28). Defisitnya neraca berjalan berarti Indonesia
banyak melakukan impor barang sedangkan ekspor Indonesia sangat lemah. Hal
tersebut disebabkan oleh produk-produk Indonesia yang mulai kalah bersaing
dengan produk-produk luar negeri, selain itu perusahaan dalam negeri yang
mengalami masalah utang luar negeri yang mulai jatuh tempo berdampak pula
pada biaya produksi yang tinggi. Tidak hanya itu, tetapi ada banyak faktor lain penyebab
terjadinya krisis moneter, antara lain :
1. Stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan
umumnya berjangka pendek dan menengah yang telah menciptakan “ketidakstabilan”,
nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia
cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya (ditambah lagi dengan sistem perbankan nasional yang lemah).
cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya (ditambah lagi dengan sistem perbankan nasional yang lemah).
Hal
tersebut semakin diperburuk oleh adanya rasa percaya diri yang berlebihan dan
cenderung mengabaikan dalam diri para menteri di bidang ekonomi maupun
masyarakat perbankan dalam menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta
tersebut.
Akumulasi
utang swasta luar negeri yang sejak awal tahun 1990-an telah mencapai jumlah
yang sangat besar, yang diperkirakan sudah jauh melampaui utang resmi
pemerintah yang beberapa tahun terakhir malah sedikit berkurang, kejadian ini
disebut Oustanding Official Debt.
Sebenarnya
ada tiga pihak yang bersalah dalam hal ini, yaitu pemerintah, kreditur dan
debitur. Kesalahan pemerintah adalah, karena telah memberi signal yang salah kepada pelaku ekonomi dengan membuat nilai rupiah
terus-menerus overvalued dan suku
bunga rupiah yang tinggi, sehingga pinjaman dalam rupiah menjadi relatif mahal
dan pinjaman dalam mata uang asing menjadi relatif murah. Sebaliknya, tingkat
bunga di dalam negeri dibiarkan tinggi untuk menahan pelarian dana ke luar
negeri dan agar masyarakat mau mendepositokan dananya dalam rupiah. Dalam hal
ini pemerintah dihadapkan dengan masalah bagaikan buah simalakama. Keadaan ini
menguntungkan pengusaha selama tidak terjadi devaluasi dan ini terjadi selama
bertahun tahun sehingga memberi rasa aman dan orang terus meminjam dari luar
negeri dalam jumlah yang semakin besar. Dengan demikian pengusaha hanya
bereaksi atas signal yang diberikan
oleh pemerintah. Selain itu pemerintah sama sekali tidak melakukan pengawasan
terhadap utang-utang swasta luar negeri ini, kecuali yang berkaitan dengan
proyek pemerintah dengan dibentuknya tim PKLN.
Pemerintah
sepertinya tidak memiliki mekanisme pengawasan terhadap hutang yang dibuat oleh
sektor swasta Indonesia. Setelah krisis berlangsung, barulah disadari bahwa
hutang swasta tersebut benar -benar menjadi masalah yang serius.
Antara
tahun 1992 sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari penambahan utang luar negeri
Indonesia berasal dari pinjaman swasta (World Bank, 1998). Hal tersebut menjadi
kesempatan emas untuk para kreditur asing, mereka tentu sangat senang dan
bersemangat meminjamkan modalnya kepada perusahaan-perusahaan (swasta) di
negara yang pada saat itu memiliki inflasi rendah, memiliki surplus anggaran,
mempunyai tenaga kerja terdidik dalam jumlah besar, memiliki sarana dan
prasarana yang memadai, dan menjalankan sistem perdagangan terbuka.
2. Banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di
Indonesia. Akibat kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta
eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri.
3. Banyaknya utang dalam valas, proyek jangka panjang
yang dibiayai dengan utang jangka pendek, proyek berpenghasilan rupiah dibiayai
valas, pengambilan kredit perbankan yang jauh melebihi nilai proyeknya, deficit
APBN yang tidak efisien dan efektif, devisa hasil ekspor yang disimpan di luar
negeri, perbankan yang kurang sehat, serta jumlah orang miskin dan pengangguran
yang relatif masih besar.
4. Diabaikannya Early
System Warning merupakan penyebab mengapa krisis moneter melanda Inonesia.
Adapun Early System Warning-nya adalah:
meningkatnya secara tajam defisit transaksi berjalan sehingga pada saat
terjadinya krisis, defisit transaksi berjalan Inonesia sebesar 32.5% dari PDB.
Boomingnya
sektor properti dan finansial yang mengabaikan kebijakan kehati-hatian dalam
pemberian kredit perbankan diperuntukkan untuk membiayai proyek-proyek besar
yang disponsori pemerintah dan pada kenyataannya, tidak semua proyek besar itu
visibel.
Pada
awal Mei 1998 besarnya utang luar negeri swasta dari 1.800 perusahaan diperkirakan
berkisar antara US$ 63 hingga US$ 64 milyar, sementara utang pemerintah US$
53,5 milyar. Ditambah lagi dengan kemerosotan nilai tukar
rupiah yang tajam yang membuat utang dalam nilai rupiah membengkak
dan menyulitkan pembayaran kembalinya. Utang swasta tersebut
banyak yang tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi, tetapi lebih mengandalkan
koneksi politik, dan seakan didukung oleh persepsi bahwa negara akan ikut
menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagalan.
Krisis moneter telah memberikan pelajaran yang sangat
berharga untuk menentukan kebijakan di masa depan, maka upaya yang paling utama
dan mendesak bagi Indonesia dewasa ini adalah program penyelamatan yang bisa
mengembalikan kepercayaan masyarakat serta menstabilkan kurs rupiah pada nilai
tukar yang nyata. Para ekonom dari CSIS berpendapat bahwa langkah yang harus
diambil untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menstabilkan nilai tukar
rupiah terhadap dolar AS dalam tingkat yang wajar, restrukturisasi perbankan,
dan penyelesaian masalah utang swasta dengan penjadwalan ulang. Menerapkan
kebijakan nilai tukar nyata sebagai nilai tukar berdasarkan purchasing power parity yang bisa
menjaga keseimbangan dalam neraca berjalan dan yang bisa menjamin ekonomi nasional
beroperasi. Dengan sistem tersebut, harga barang-barang produksi dalam negeri
dengan kandungan lokal tinggi bisa meningkat daya saingnya sehingga bisa
berkembang dan masyarakat tidak mengandalkan bahan impor karena menjadi mahal,
industrialisasi substitusi impor berlanjut, harga mobil terjangkau oleh
masyarakat, impor secara otomatis akan berkurang dan meningkatkan ekspor.
Kegiatan jasa hotel, perjalanan, perdagangan dan angkutan juga dapat hidup
kembali.
Setelah mendapat pengalaman dari krisis ini, dana
asing akan sangat hati-hati masuk ke Indonesia,
begitu pula pengusaha domestik akan sangat hati-hati untuk meminjam dari luar
negeri, sehingga sumber utama krisis di masa lalu untuk
masa mendatang sudah dapat dieliminir, selama persyaratan di atas bisa dipenuhi.
Dengan demikian, kegiatan ekonomi Indonesia terutama harus ditunjang oleh kekuatan
sendiri berdasarkan dana modal yang tersedia di dalam negeri. Dunia perbankan nasional
juga telah diajarkan dari manfaat jangka panjang untuk bertindak prudent.
Pemerintah
sebaiknya memberi perhatian lebih terhadap produk-produk dalam negeri karya
anak bangsa, agar dapat bersaing di jajaran Internasional, langkah awal yang
dapat dilakukan yaitu pemerintah memberi contoh dengan menggunakan
produk-produk dalam negeri, dengan dilakukannya hal tersebut, bukanlah tidak
mungkin nantinya banyak masyarakat dalam negeri maupun luar negeri percaya akan
produk-produk Indonesia, hal itu otomatis akan menambah pendapatan negara.
Selain itu, Departemen Keuangan dan Bank Indonesia,
harus bertindak pro-aktif menghadapi IMF dengan
mengajukan saran-sarannya sendiri dan menolak
program-program yang tidak relevan. Pemerintah juga sebaiknya mempertimbangkan
lebih lanjut saran-saran dan bantuan yang diberikan oleh IMF, apakah benar-benar
dapat memperbaiki perekonomian Indonesia atau malah merugikan. Seperti yang
sudah saya bahas sebelumnya, IMF sebenarnya tidak benar-benar sepenuh hati
membantu Indonesia, sebaliknya malah membuat perekonomian Indonesia semakin
terpuruk. Hal itu dapat dijadikan pelajaran untuk ke depannya agar pemerintah
lebih berhati-hati lagi dalam mengambil kebijakan dan tidak mudah dimanfaatkan
oleh pihak luar.
Mengusahakan penundaan
pembayaran utang resmi pemerintah juga perlu dilakukan. Keuntungan dari penundaan
pembayaran utang ini yaitu beban utang
tidak menjadi bertambah, hanya jangka waktu pembayaran kembalinya saja yang lebih panjang, tanpa merusak nama
Indonesia sebagai debitur yang baik.
Mengembalikan
stabilitas sosial dan politik dan rasa aman secepatnya juga perlu dilakukan
sehingga bisa memulihkan
kepercayaan pemilik modal dalam dan luar negeri.
Pengalaman-pengalaman
krisis ekonomi perlu dijadikan pelajaran bagi pemerintah Indonesia yang
selanjutnya, bagaimana sebaiknya dalam membangun dan menciptakan perekonomian
negara Indonesia yang baik dan tidak hanya bertumpu pada utang luar negeri
dalam mewujudkan hal tersebut.
Menurut
saya, bukan hanya pemerintah saja yang mempunyai peran dalam masalah krisis
ekonomi ini, tetapi masyarakat Indonesia sendiri juga harus berperan aktif dalam
masalah tersebut. Hal-hal yang dapat dilakukan antara lain :
1. Membuat
agenda pembangunan nasional yang rasional dan partisipatif agar dapat menjawab
pertanyaan tentang “perlukah kita berhutang?”. Selama ini utang dibuat oleh pemerintah
dan perusahaan swasta, tetapi resikonya ditanggung oleh seluruh masyarakat.
2. Perlu
menggali dan selalu mengikuti perkembangan utang luar negeri Indonesia. Melalui
membaca, mencari informasi yang mendukung atau ikut menyebarkan info mengenai
dampak dari utang luar negeri.
3. Meningkatkan
pertumbuhan kapasitas dalam negeri agar tidak perlu lagi berhutang. Oleh karena
itu, kita harus menuntut agar pemerintah menerapkan pola pembangunan yang
berbeda dari yang saat ini dilakukan. Kita memerlukan demokrasi partisipatif,
pemerintah dan DPR yang bersih serta semangat nasionalisme, juga solidaritas
yang kuat antar sesama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar